Desa, Pandemi, “New Normal”

Kolom Detik, 23 Juni 2020

Oleh: M. Rizki Pratama*

Tenaga Pengajar Prodi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Dahulu entitas desa sering digambarkan sebagai teritori yang paling rentan terhadap wabah baik penyakit yang merusak fisik manusia ataupun wabah hama yang merusak komoditas pangan. Masyarakat desa di Pulau Jawa terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah telah akrab dengan “pagebluk” di kala wabah penyakit melanda dan istilah “paceklik” ketika komoditas pangan sulit tersedia.

Sejarah di Indonesia menunjukkan berbagai macam penyakit telah mematikan kehidupan desa seperti kolera dan pes. Sejarah di ranah global juga memperlihatkan bahwa wabah seringkali muncul pertama kali di desa lalu merusak dengan cepat kehidupan warga desa. Virus ebola yang mewabah di Afrika sebenarnya merupakan sebuah nama sungai di sekitar desa Yambuku, Zaire yang penduduknya terinfeksi virus tersebut (CDC, 2018).

Desa-desa di wilayah Alaska, Amerika Serikat juga menerima dampak buruk ketika Spanish Flu mewabah pada 1918-1919. Fakta sejarah wabah di Desa Eyam, Inggris 300 tahun lalu bahkan hingga hari ini menjadi pembelajaran kebijakan isolasi dan karantina (Massad et al., 2004). Desa Eyam mereka harus kehilangan 267 warga desa, padahal jumlah total mereka sebelum wabah adalah 350 orang.

Tentu, desa-desa di era masa kini seharusnya lebih kuat melawan pandemi dengan sejarah panjang tersebut. Desa seringkali dimitoskan rawan dari berbagai ancaman terutama dari segi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebut saja masih ada anggapan masyarakat desa yang sakit-sakitan, terbelakang, dan miskin. Dalam konteks Indonesia mestinya anggapan tersebut sudah harus pudar ketika institusi desa menjadi desa yang telah memiliki sumber daya yang mumpuni.

Tentu hari ini desa harus menjadi benteng untuk melindungi rakyat di tengah gempuran wabah yang datang terutama desa pasca implementasi UU Desa bersama limpahan dana desanya. Dalam konteks terkini pun entitas desa menjadi benteng dengan kebijakan microlockdown. Alhasil desa tetap menjadi entitas komunitas lokal yang krusial dalam masa new normal. Desa menunjukkan kekuatan mereka dengan melakukan lockdown mandiri untuk melawan balik wabah Covid-19.

Mereka berani mendahului kebijakan sentral dari pemerintah pusat karena benar-benar memahami harapan dan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Selain itu berbagai desa juga melakukan usaha-usaha preventif untuk mempertahankan wilayahnya agar tetap steril dari wabah dan tetap memiliki daya tahan di tengah lesunya ekonomi akibat wabah. Mereka menggunakan sumber daya sendiri untuk melakukan pembagian jamu ke warga, memberikan sembako ke warga yang terdampak, penyemprotan desinfektan, mendirikan pos jaga untuk memantau pergerakan warga hingga membuat dan mendistribusikan masker buatan warga desa.

Benteng Terakhir

Hasil kolaborasi warga desa, pemerintah, relawan dan universitas juga menunjukkan arah yang sama. Desa adalah benteng terakhir untuk menghadapi wabah ini; ketika desa ambruk karena wabah jangan harap negara akan sanggup untuk membangunnya kembali secara utuh dalam waktu yang cepat.

Pelajaran dari berbagai bencana alam menunjukkan warga desa membutuhkan waktu untuk pulih baik secara psikologi, ekonomi, maupun sosial. Akan menjadi sejarah malapetaka ketika ada satu desa di Indonesia yang benar-benar parah menerima dampak negatif ketika sebagian besar warganya terinfeksi wabah Covid-19. Jangan sampai kebijakan new normal justru membebani desa.

Negara di masa depan juga harus lebih menginvestasikan lebih banyak sumber daya untuk pembangunan kesehatan di desa. Pelajaran dari negara-negara yang berhasil meminimalisasi efek Covid-19 seperti Taiwan dan Singapura, di tambah sebuah negara bagian dari India yaitu Kerala juga melakukan yang sama.

Fasilitas kesehatan yang lebih baik berbanding lurus dengan tingkat keselamatan warga ketika terjadi pandemi. Dengan tingkat populasi yang besar dan wilayah geografi yang luas pula tentu investasi di bidang kesehatan harus besar pula. Kita harus bermimpi di tingkat desa pun harus memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Puskesmas pembantu harus sekelas puskesmas utama, puskesmas utama harus sekelas dengan rumah sakit daerah, rumah sakit daerah juga harus sekelas dengan rumah sakit yang berada di ibu kota.

Dokter dan petugas medis harus ada di level desa, tidak berkumpul di wilayah perkotaan seperti saat ini. Semua itu membutuhkan kebijakan redistribusi pelayanan kesehatan yang tegas dari pemerintah. Dengan begitu kita tidak membutuhkan waktu panjang untuk menolong warga di situasi emergensi terutama dalam kasus wabah.

Untuk mengetahui siapa yang terinfeksi dan yang tidak, siapa saja yang telah melakukan kontak dengan warga yang terinfeks,i dan perawatan seperti apa yang sesuai dengan kondisi kesehatan dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan pelayanan yang menjangkau le level desa.

Kondisi saat ini warga di lokasi urban perkotaan yang dianggap akan lebih tahan menghadapi wabah dengan segala fasilitas pelayanan publik yang lebih komprehensif, ternyata juga harus mengalami kesulitan. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris. Warga urban di tengah terjangan wabah Covid-19 kewalahan menghadapinya. Hampir-hampir semua wilayah tidak ada bedanya ketika menghadapi Covid-19. Semua harus waspada.

Aksi-aksi positif warga desa di Indonesia harus menjadi catatan sejarah modern Indonesia; mereka menjadi contoh altruisme dan kerelawanan untuk menempatkan kepentingan publik menjadi prioritas. Sejarah di masa mendatang harus mencatat ini sebagai praktik baik dalam penanganan wabah. Kita tidak hanya belajar dari great plague yang berasal dari Desa Eyam di Inggris, tetapi juga berusaha menjadikan cerita desa kita sendiri sebagai pembelajaran global.

Sekali lagi diperlukan kebijakan dari pemerintah sebagai pemain sentral dalam penanganan wabah karena pasti wabah akan selalu menghantui di masa mendatang. Kita juga harus mengapresiasi setinggi langit perjuangan para petugas kesehatan bahkan di antara mereka harus gugur.

Tidak peduli kita sebagai masyarakat urban ataupun rural semua memiliki kesempatan yang sama jika berhadapan dengan wabah jika tidak mematuhi imbauan pemerintah. Jangan sampai kini desa yang sudah mulai bangkit dan mandiri kembali rusak dengan cepat karena wabah. Kita semua harus mematuhi tetap mematuhi protokol kesehatan dan imbauan pemerintah. Desa harus selamat di masa new normal.

 


Tinggalkan komentar